PARA PEMUDA PENERUS PERJUANGAN, PULANGLAH!

“Beri aku 1000 orang tua niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncang dunia”.

Siapa yang tidak kenal kata-kata fenomenal ini? Ya, sebuah kata yang cukup menggetarkan jiwa dari sang Founding Father Negara kita, Soekarno. Bukan tanpa alasan Soekarno berkelakar demikian, karena memang pada faktanya, negara ini diperjuangkan dan digerakkan oleh para pemuda.
Bagai seorang bayi yang baru lahir, Indonesia berusaha mencari jati diri untuk menunjukkan eksistensi dirinya di mata dunia. Berbagai organisasi dan pergerakan bersama-sama maju memberikan sumbangsih untuk menentukan jalan hidup dan nasib bangsa ini. Beragam kelompokpun mulai bermunculan dengan membawa latar belakang yang berbeda-beda. Agama, suku, ideologi telah berubah, bergerak laksana kuda perang yang mendorong mereka untuk bergerak maju mengarahkan masa depan bangsa.
Dan aktor dibalik semua itu adalah para pemuda. Semangat perjuanagn para pemuda bangsa akhirnya membuahkan hasil yang cukup manis, yaitu kemerdekaan Negara Indonesia.
Salah satu organisasi masyarakat yang juga memiliki andil sangat penting dalam memperjuangkan kedaulatan Negara Indonesia adalah Muhammadiyah. Sebut saja, Ki Bagus Hadikusumo, Mr Kasman Singodimedjo dan KH Abdul Kahar Muzakir, para pemuda Muhammadiyah yang berjasa dalam merumuskan dan memperjuangkan kemerdekaan Negara Republik Indonesia.
Muhammadiyah sendiri adalah sebuah organisasi Islam yang didirikan oleh seorang pemuda yang memiliki semangat juang tinggi bernama Muhammad Darwis, atau yang sering dikenal dengan KH Ahmad Dahlan. Jauh sebelum Indonesia merdeka, KH Ahmad Dahlan telah mendirikan organisasi Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912. Dengan semangat perjuangan memberantas kebodohan dan kemiskinan serta memperbaiki akidah umat islam, KH Ahmad Dahlan didampingi sang istri, Siti Walidah, mendirikan sebuah persyarikatan dengan dana pribadi, yaitu persyarikatan Muhammadiyah. Semangat pasangan suami istri ini berhasil merekrut banyak kaum muda untuk masuk ke dalam persyarikatan dan berjuang mengembangkan serta memurnikan ajaran Islam. Salah satu prestasi luar biasa yang dicapai pada saat itu adalah berdirinya sekolah Islam untuk kalangan rakyat jelata dan sebuah balai pengobatan Penolong Kesengsaraan Umat yang sekarang dikenal dengan nama PKU Muhammadiyah.
Maka tidak heran jika para pendiri, pendahulu dan pejuang Muhammadiyah adalah kaum muda. Bahkan hampir dapat dikatakan bahwa Muhammadiyah tidak akan eksis hingga saat ini tanpa adanya semangat para pemuda saat itu.

https://muarrafahsaifullah.wordpress.com/wp-content/uploads/2015/06/muhammadiyah-3.png

Lalu bagaimana dengan kondisi sekarang?
Saat ini, krisis pemuda telah menjadi sebuah permasalahan komprehensif di Indonesia, tak terkecuali oraganisasi kita, Muhammadiyah. Keluhan yang sering mucul dari Pimpinan Ranting Muhammadiyah adalah tidak adanya kader yang melanjutkan amal usaha Muhammadiyah. Keluhan ini dirasakan rata oleh hampir setiap cabang dan ranting di Indonesia, dari sabang sampai Merauke.
Dimanakah mereka para pemuda ini?
Mereka ada. Periksalah ke universitas-universitas Muhammadiyah. Disana, terdapat ribuan bahkan jutaan mahasiswa yang notabene dididik untuk menjadi penerus perjuangan Muhammadiyah. Tak sedikit pula diantara mereka yang sering melakukan aksi menyampaikan aspirasi mereka, mulai dari urusan internal kampus hingga urusan negara. Berbagai cara unik juga mereka gunakan demi menyalurkan ide-ide yang berenang-renang nakal di dalam pikiran. Bahkan, tak sedikit pula yang berani menempuh jalan ekstrim melawan aparat pemerintah, melukai diri sendiri, demi memperjuangkan nasib rakyat (katanya).
Tapi, di antara sekian banyak mahasiswa yang kreatif dan memiliki ide cemerlang semasa kuliah tersebut, berapakah yang akhirnya kembali kepada persyarikatan? Sangat sedikit!
Apakah bekal yang mereka dapat dari Universitas tak cukup untuk melanjutkan perjuangan Muhammadiyah di daerah dimana mereka berasal? Mungkin, hanya sedikit dari mereka yang mengerti pesan KH Ahmad Dahlan “Muhammadiyah pada masa sekarang ini berbeda dengan Muhammadiyah pada masa mendatang. Karena itu hendaklah warga muda-mudi Muhammadiyah terus menjalani dan menempuh pendidikan serta menuntut ilmu pengetahuan (dan teknologi) dimana dan kemana saja. Jadilah master, insinyur, dan professional lalu kembalilah kepada Muhammadiyah sesudah itu”.
Lihatlah, betapa bapak kita telah mengkhawatirkan nasib Muhammadiyah dalam jangka waktu yang cukup panjang. Jauh-jauh hari sebelum masa ini terjadi, beliau telah mengkhawatirkan nasib anak-anak Muhammadiyah. Hal ini mengingatkan kita pada firman Allah SWT QS. An-Nisa’: 9
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
Sejak awal berdirinya, KH Ahmad Dahlan sudah mewanti-wanti anak cucu Muhammadiyah untuk terus berkemabng, menjadi kuat di segala sektor kehidupan, tidak tergerus oleh perkembangan zaman yang sangat pesat, bila perlu, menjadilah penguasa pada setiap bidang. Namun, poin terpenting dan sering terabaikan oleh kita adalah pesan pada kalimat terakhir “LALU KEMBALILAH KEPADA MUHAMMADIYAH SESUDAH ITU”.
Sudahkah para pemuda Muhammadiyah memikirkan dan merenungkan hal ini? Kemanakah mereka setelah sukses menjadi dokter, insinyur, pengusaha, dan berbagai posisi penting lainnya? Tidak ingatkah mereka dengan tempat asalnya?
Ya, tempat awal, cikal bakal kesuksesan mereka. Muhammadiyah cabang dan ranting yang berjalan terseok-seok meneruskan amal usaha yang ada, mempertahankan persyarikatan di tengah gempuran ormas-ormas lain yang mulai berkembang maju. Bapak-bapak yang hampir berputus asa akan kader penerusnya. Sementara itu, kaum muda yang dibekali pendidikan tinggi tak kunjung datang, kembali membantu menghidupkan persyarikatan.

Dimanakah letak kesalahannya?
Mungkin kita perlu merenung sejenak, mencari letak kekeliruan dan memperbaiki apa yang telah terjadi.

Terlanjur Nyaman Hidup di Kota
Bertahun-tahun hidup di kota untuk menuntut ilmu, berorganisasi, bergaul dengan teman-teman mahasiswa, akses mudah kesana kemari, tak ketinggalan sarana berbelanja kebutuhan sehari-hari. Selain karena permasalahan ekonomi (mahalnya biaya transportasi), ada banyak faktor yang mendukung mahasiswa luar kota untuk tidak banyak memiliki kesempatan pulang ke kampung halaman. Sehingga hampir bertahun-tahun hidupnya dijalani di kota tempat ia menuntut ilmu. Hal ini memberikan efek buruk, yaitu sudah terlanjur nyaman hidup di tempat ia kuliah dan enggan kembali ke kampung halaman.
Kondisi seperti ini banyak terjadi di kalangan mahasiswa. Ketika merantau telah menjadi pilihannya, maka kemungkinan kecil mereka akan kembali ke kampung halaman. Pengaruh dan cara pandang mereka sudah mulai terkontaminasi oleh kehidupan kota. Sehingga jika kembali ke tampat asal, maka rasa gengsi yang akan muncul. Bayangan kolot dan tertinggal di desa menyebabkan mereka enggan untuk kembali dan mengabdi di kampung halaman.

Cara Berfikir yang Berbeda dengan Penduduk Desa
Bagaimana dengan mereka yang memiliki keinginan untuk kembali ke kampung halaman?
Memang tidak semua mahasiswa memutuskan untuk menetap di kota tempat ia kuliah, namun ada sebagian kecil dari mereka yang masih “ingat” dengan kampung halaman dan beri’tikad untuk kembali mengabdi di kampung halaman. Namun apakah semuanya berjalan dengan lancar?
Tidak. Ada banyak kendala yang harus mereka hadapi ketika kembali ke kampung halaman dan berniat ingin melakukan “perubahan”. Berbekal ilmu yang telah ia peroleh selama perkuliahan, tentu cara berfikir mereka berbeda dengan penduduk desa. Ada banyak hal yang ingin mereka kerjakan untuk mengubah masyarakat desa menjadi masyarakat yang lebih maju dan modern –dengan cara berfikir mahasiswa tentunya -. Tapi tidak semua penduduk mampu menerima cara berfikir anak kuliahan tersebut. Sebagaiamana umumnya penduduk desa yang masih menjunjung tinggi nilai adat istiadat daerah setempat, ada banyak hal yang tidak boleh diubah dan tidak boleh diganggu gugat, jika tidak ingin “kuwalat” nantinya.

Dua cara pandang yang berbeda inilah yang akhirnya menimbulkan perdebatan panjang. Sehingga, mau tidak mau, anak kuliahan yang terbatas jumlahnya tersebut harus mengalah dengan masyarakat yang memiliki pendirian teguh itu. Oleh karena tidak adanya kepercayaan serta muncul penolakan dari masyarakat, maka kembalilah anak kuliahan tadi ke kota, dimana ia dapat hidup sesuai dengan “kata hatinya”.
Lain cerita jika anak kuliahan ini memiliki mental yang kuat dan kesabaran yang tinggi melayani keluhan masyarakat. Semangat juang yang tinggi tidak lantas mengendurkan langkahnya melakukan perubahan. Meski membuthkan waktu yang sangat panjang, ia tetap bersabar untuk merealisasikan idenya sehingga masyarakat mau menerima. Perlahan namun pasti, perubahan ke arah yang lebih baik akan terwujud. Namun sayangnya, pemuda lulusan universitas yang seperti ini sudah sangat langka ditemui di belahan bumi ini!.

Tidak Tersedia Lapangan Pekerjaan yang Sesuai dengan Keahliannya
Apa yang dicari ketika memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas? Apa tujuan yang ingin dicapai ketika menentukan jurusan atau program studi yang dipilih?
Meski tidak seluruhnya, namun sebagian besar calon mahasiswa akan menjawab “untuk melanjutkan masa depan”, “agar mudah mendapatkan perkerjaan”, “agar tidak tertinggal dengan perkembangan zaman”, dan jawaban-jawaban lain semisalnya.
Orientasi kebanyakan mahasiswa dan para orang tua tentunya adalah melanjutkan kuliah untuk mendapatkan gelar sarjana sehingga mudah mendapatkan pekerjaan. Ya, pekerjaan adalah orientasi hidup yang tidak dapat dipungkiri. Inilah sebabnya, ketika para mahasiswa telah berhasil menyelesaikan pendidikannya, mereka berbondong-bondong mencari pekerjaan yang menurut mereka layak dan sesuai dengan gelar yang mereka sandang. Pekerjaan yang mereka anggap keren dan elit tentu pekerjaan ringan, seperti guru, dosen, pegawai negeri, pegawai kantor, dokter, dan lain-lain.
Permasahalannya adalah, perkerjaan yang mereka cari tidak tersedia di daerah tempat asalnya. Yang ada disana adalah petani, pekebun, tukang kayu, dan pekerjaan berat lainnya. Dengan gelar yang mereka sandang, selain karena bukan keahliannya, mereka memasang gaya “gengsi” untuk bekerja sebagaimana pekerjaan mayoritas penduduk asal.
Akibatnya adalah, para pemuda ini menjadi pemuda loyo yang tidak memiliki semangat untuk merubah masa depan menuju ke arah yang lebih baik. Kembali ke kampung halaman bukanlah pilihan yang tepat menurut mereka.
Kondisi Muhammadiyah yang sedang krisis kader tidak lantas mampu mengokohkan hati mereka untuk tetap berjuang di kampung halaman. Kebutuhan akan pekerjaan dan kelangsungan hidup pribadi lebih menjadi prioritas ketimbang menghidupkan Muhammadiyah.

Kurangnya Perhatian dari Pimpinan Muhammadiyah Setempat
Jika mau berfikir lebih dalam dengan kepala dingin, maka akan kita temukan bahwa tidak adanya kader penerus Muhammadiyah bukan melulu kesalahan para pemuda. Campur tangan Pimpinan Muhammadiyah setempat juga mempengaruhi kwalitas serta kwantitas kader Muhammadiyah. Bahkan dapat dikatakan bahwa Pimpinan Muhammadiyah memberikan kontribusi yang cukup penting untuk kelangsungan kader Muhammadiyah.
Contohnya saja, ketika keluhan akan jumlah kader yang semakin kritis, tindakan apakah yang sudah dilakukan?
Pembibitan kader sangat diperlukan sejak dini. Namun, yang sering terlupakan adalah pengawasan dan perhatian terhadap kader yang dibibit tersebut. Ketika Muhammadiyah telah bertekad mengutus beberapa pemudanya untuk melanjutkan pendidikan ke luar kota dengan harapan akan kembali dan melanjutkan perjuangan, maka disitu harus ada konsistensi untuk memperhatikan utusan tersebut. Tidak melepasnya begitu saja.
Namun hal yang lebih memprihatinkan adalah, para pengurus Muhammadiyah terlalu sibuk menyiapkan kader dari pemuda-pemuda di lingkungan sekitarnya, sehingga lupa bahwa mereka juga memiliki putra putri yang juga siap untuk diterjunkan melanjutkan perjuangan Muhammadiyah. Hal ini banyak kita jumpai di cabang dan ranting Muhammadiyah. Entah karena alasan apa, para pengurus Muhammadiyah lebih memilih untuk “membebaskan” putra putrinya dari Muhammadiyah. Ketika putra putri mereka telah sukses, mereka seakan enggan untuk meminta kembali dan mengembangkan Muhammadiyah.

Ketidakpercayaan dari Para Senior
Siapakah yang sering meramaikan masjid? Sipakah yang sering ditunjuk untuk menjadi imam masjid? Siapakah yang dipercaya untuk mengisi ceramah atau khutbah Jum’at? Di banyak masjid di berbagai daerah sering kita jumpai mereka yang menjadi imam, menjadi khatib dan para ustadz yang mengisi kajian adalah beliau-beliau yang sudah dianggap mumpuni, memiliki ilmu dan berpengalaman. Ya, wajah-wajah senior sering menghiasi masjid untuk memberikan wejangan-wejangan kepada masyarakat. Para senior dianggap lebih berhak mengisi acara keagamaan dibandingkan dengan kaum muda. Bahkan ada anggapan bahwa para pemuda tidak sopan jika memberikan kajian dan “mengajari” para senior.
Inilah kesalahan yang perlu diperbaiki. Ketidakpercayaan terhadap para pemuda menyebabkan kemunduran mental mereka. Padahal, jika para pemuda ini diberikan kesempatan untuk sekedar menjadi imam sholat atau mengisi khutbah jum’at, akan ada banyak manfaat yang diperoleh. Memberikan kepercayaan kepada kaum muda adalah proses pengkaderan secara langsung. Selain untuk melatih keberanian dan keterampilan mereka, juga akan menumbuhkan rasa percaya diri dalam diri pemuda. Mereka akan merasa dihargai sehingga semangat untuk terus menutut ilmu tumbuh dari dalam diri mereka. Dengan adanya penghargaan dari para senior, para pemuda akan dengan senang hati dan penuh kesadaran untuk mengembangkan amal usaha yang telah dirintis oleh para pendahulunya. Sehingga ketika mereka diminta untuk kembali kepada Muhammadiyah, sama sekali tidak ada beban dan rasa berat hati.

Sentuhan Akhir
Demikianlah sedikit gambaran tentang krisis kader Muhammadiyah. Hanya segelintir pemuda yang sadar dan kembali ke Muhammadiyah. Selebihnya, asyik dengan dunia mereka masing-masing.
Solusi yang paling tepat tentu penyadaran diri para pemuda kita, bahwa Muhammadiyah adalah ladang perjuangan yang tidak boleh ditinggalkan. Betapa para sesepuh dan senior kita telah berjuang mencurahkan seluruh hidupnya untuk Muhammadiyah.
Hendaknya kita renungkan firman Allah swt QS. At-Taubah: 122
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Lihatlah, Allah SWT melarang jika semua umat Islam untuk bergi berperang. Hanya sebagian saja yang diperbolehkan untuk berperang. Dengan tujuan apa? Supaya ada sebagian muslim yang berjuang menegakkan agama Islam dengan cara yang lain, yaitu memperdalam ilmu pengetahuan, mengajarkan Islam kepada kaum muslim yang lain hingga anak cucu. Kalau untuk berperang melawan kafir –dimana jihad merupakan perbuatan yang sangat mulia – saja dibatasi, bagaimana dengan pergi meninggalkan umat hanya untuk mencari kesenangan duniawi?
Begitu pula dengan kondisi Muhammadiyah, pergilah keluar wahai pemuda. Pergilah, tuntutlah ilmu untuk bekalmu, namun kemudian kembalilah kepada Muhammadiyah. Ingatlah, Muhammadiyah adalah ladang amal dan perjuangan yang telah dirintis lebih dari 1 abad yang lalu. Jangan kau sia-siakan perjuangan nenek moyangmu.
Perlu diingat pula bagi para pengerus Muhammadiyah. Jika serius ingin membibit kader, maka persiapkanlah dengan baik. Sediakan pekerjaan yang layak bagi para kader jika mereka sudah siap kembali ke kampung halaman. Jangan hanya meminta untuk mengembangkan Muhammadiyah, tetapi kehidupan finansial tak tercukupi. Karena bagaimanapun juga, umat Islam diperintahkan unutk kuat dalam hal ekonomi dan agama.
Latihlah anak-anak muda untuk menjadi pemimpin dengan memberikan kepercayaan meski sekedar menyampaikan khutbah jum’at. Ini adalah hal sepele namun sangat besar efeknya. Satu hal yang tak kalah penting adalah, jangan biarkan putra putri pengurus Muhammadiyah justru melupakan Muhammadiyah. Jadilah apapun, namun tetap kembalilah kepada Muhammadiyah.

logo muktamar

AYAT-AYAT PELESTARIAN LINGKUNGAN

AYAT-AYAT PELESTARIAN LINGKUNGAN.

AYAT-AYAT PELESTARIAN LINGKUNGAN

SKRIPSI MU’ARRAFAH SAIFULLAH

HUKUM SEPUTAR RING BACK TONE (RBT)

  1. A. Pendahuluan
    Teknologi informasi dan telekomunikasi telah berkembang luas di seluruh penjuru dunia. Jarak jauh menjadi terasa dekat, seakan komunikasi tidak dapat terhalang oleh jarak, ruang dan waktu. Akibatnya, dunia yang begitu luas menajdi terasa sempit. Oleh karena itu, manusia pada umumnya dan para ilmuwan pada khususnya berlomba-lomba untuk menciptakan sebuah teknologi yang memberikan kemudahan dalam berkomunikasi. Salah satu penemuan teknologi tersebut adalah telepon seluler yang memberikan kemudahan untuk berkomunikasi jarak jauh, kemudian berkembang menjadi hand phone yang pada dasarnya memiliki prinsip kerja yang sama dengan telepon seluler. Akan tetapi, hand phone memberikan layanan yang lebih banyak dengan fitur-fitur yang dimiliknya, seperti layanan pesan singkat (SMS), kamera, internet dan lain-lain. Di balik semua layanan yang ditawarkan oleh teknologi-teknologi tersebut, manusia sangat membutuhkan komunikasi jarak jauh sehingga layanan yang paling diminati adalah jaringan telepon.
    Seiring dengan meningkatnya pengguna telepon, berkembang pula jasa seluler yang menawarkan jaringan-jaringan yang mampu memenuhi kebutuhan mereka. Akibatnya, persaingan mulai terjadi dan memberikan tawaran-tawaran harga murah kepada konsumen. Ide lain muncul, beberapa penyedia jasa memperkenalkan fitur layanan yang disebut dengan Nada Sambung atau Ring Back Tone (RBT). Nada sambung atau RBT adalah sebuah fitur yang memberikan layanan berupa lagu-lagu yang dapat dinikmati oleh penelfon ketika sedang menunggu jawaban pihak yang ditelfon. RBT sangat diminati oleh masyarakat luas, karena layanan RBT kerap dianggap sebagai identitas pribadi bagi pemiliknya.
    Pihak yang mendapat keuntungan dari layanan RBT selain konsumen -yang merasa memiliki identitas tersendiri dengan RBT yang dimilikinya- adalah penyedia layanan RBT dan pihak yang berada dalam industri musik, yaitu pemilik studio rekaman, produser dan para artis. Dengan meningkatnya pengguna RBT, maka RBT telah dijadikan sebagai salah satu pemasukan utama dan lahan promosi para musisi. Fenomena semacam ini kemudian dijadikan sebagai upaya untuk meraih untung sebanyak-banyaknya oleh beberapa pihak “nakal”.
    Pihak-pihak ini memberikan penawaran konten dan memberikan layanan jasa premium melalui SMS. Sistem yang digunakan adalah mengirim SMS penawaran konten menarik kepada konsumen dengan harga murah (misal: Rp. 1.000,-) dalam jangka waktu 1 atau 2 minggu, lalu ketika masa 1 atau 2 minggu sudah berlalu, akan dilakukan perpanjangan secara otomatis apabila konsumen tidak mengirimkan SMS berhenti berlangganan. Namun, kebanyakan konsumen tidak mengetahui jika konten tersebut akan diperpanjang secara otomatis dan tidak tahu bagaimana cara berhenti berlangganan, sehingga pulsa mereka akan tersedot secara otomatis. Dampaknya adalah konsumen akan merasa dirugikan. Hal semacam inilah yang akhirnya menjadi permasalahan dan memerlukan pembahasan lebih lanjut.
    Dalam hal ini, pemerintah telah mengambil sikap, dan permasalahan sekarang adalah bagaimana hukum RBT menurut pandangan Islam. Pada kesempatan kali ini, penulis akan menjelaskan hukum seputar RBT melalui pemaparan berdasarkan pada nalar Fikih Kontemporer dengan menggunakan tiga macam pendekatan (Bayani, Qiyasi, Ishtishlahi).

    B. Pembahasan
    1. Hukum Lagu dan Musik dalam Pandangan Islam
    Di antara hiburan yang dapat menyegarkan jiwa dan memberikan kenikmatan pada telinga adalah lagu dan musik. Islam memperbolehkannya selama tidak mengandung kata-kata keji dan kotor. Bahkan lagu dan music dianjurkan pada momen-momen kebahagiaan seperti pada hari raya, pesta pernikahan, kehadiran orang yang sekian lama pergi, dan lain sebagainya. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa Hadits berikut:
    1. Dari Aisyah ra. bahwa ia mengantar pengantin perempuan ke tempat pengantin laki-laki dari kalangan Anshar. Nabi saw berkata: “wahai Aisyah, mengapa mereka tidak menyertakan hiburan? Padahal orang-orang Anshar itu menyukai hiburan”. (HR. Bukhari).
    2. Ibnu Abbas ra. berkata bahwa ketika Aisyah menikahkan kerabat dekatnya dengan seorang Anshar, Rasulullah saw datang dan bertanya, “kalian akan menghadiahkan gadis itu?” “ya”, jawab mereka. Beliau lalu berkata, “apakah kalian juga akan menyertakan orang yang akan menyanyi?” “tidak”, jawab Aisyah. Lantas Rasulullah saw bersabda, “sesungguhnya orang-orang Anshar itu romantis, karenanya alangkah baik jika kalian sertakan juga orang yang bertutur, ‘kami datang pada kalian/ kami datang pada kalian/ sejahteralah kami/ sejahteralah kalian’. (HR. Ibnu majah).
    3. Dari Aisyah ra, ia berkata bahwa Abu Bakar ra. masuk ke rumahnya pada suatu hari Mina (hari raya ‘Idul Adha), sedag saat itu di sampingnya ada dua gadis yang sedang menyanyi dan memukul rebana, sementara Rasulullah saw berada disitu dengan menutupi wajahnya dengan pakaian. Lalu Abu Bakar mengusir kedua gadis itu. Mendengar itu, Nabi saw membuka tutup wajahnya dan berkata, “biarkan mereka wahai Abu Bakar, saat ini adalah hari raya”.
    Namun demikian, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam masalah diperbolehkannya lagu dan musik, yaitu:
    1. Tema lagu dan musik hendaknya tidak berlawanan dengan etika dan ajaran islam.
    2. Cara menyanyikannya tidak menyebabkan bergeser dari wilayah halal ke wilayah haram. Misalnya, bernyanyi dengan tarian yang menggairahkan nafsu dan sayhwat.
    3. Tidak menikmati lagu dan musik secara berlebih-lebihan dan melampaui batas hingga menyia-nyiakan waktu.
    4. Lagu dan musik tidak diiringi dengan hal-hal yang haram. Jika diikuti dengan hal-hal yang haram maka hukumnya menjadi haram. Misalnya adalah nyanyian yang diiringi dengan minuman keras, dan sebagainya.

    2. Hukum Penjualan Ring Back Tone (RBT) dalam Islam
    Dasar hukum jual beli adalah Qs. Al-baqarah: 275
    وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
    Artinya: dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
    Kata الْبَيْعَ dalam ayat di atas adalah shighat ‘amm karena berbentuk isim mufrad disertai dengan “al” istihgraqiyah. Hal ini menunjukkan bahwa Allah swt menghalalkan segala macam bentuk jual beli yang tidak mengandung unsur haram. Termasuk jual beli ini adalah jual beli berbentuk jasa seperti Ring Back Tone (RBT).
    Karena jual beli adalah termasuk jenis muamalah maka jual beli harus memiliki prinsip kerelaan (suka sama suka), jelas, menegakkan keadilan, mewujudkan mashlahah, dan meninggalkan kerusakan. Demikian pula dengan jual beli RBT, baik penjual maupun pembeli harus memenuhi prinsip-prinsip tersebut. Namun kasus yang saat ini muncul adalah penjual jasa RBT melanggar prinsip kerelaan, dan melanggar akad yang telah ditentukan. Para penjual jasa sengaja memperpanjang kontrak pembelian tanpa adanya pemberitahuan sebelumnya sehingga merugikan konsumen dan menyebabkan konsumen tidak rela dengan jual beli ini. Allah swt berfirman dalam Qs. an-Nisa’: 29
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
    Artinya: hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.
    Dalam ayat tersebut Allah melarang perniagaan yang batil, yaitu perniagaan yang tidak didasari pada suka sama suka. Sedangkan di dalam kaidah fikih dikatakan
    الأصل فى النهي للتحريم الا مادل الدليل على خلافه
    Artinya: dasar larangan adalah haram, kecuali adanya dalil yang menentangnya.
    Hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah juga menyatakan
    لاضرر ولا ضرار
    Artinya: tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.
    Berdasarkan pada Qs. an-Nisa’: 29, kaidah fikih dan hadits di atas maka hukum menjual RBT dengan cara seperti tersebut di atas adalah haram, karena tidak didasarkan pada kerelaan dan membahayakan orang lain.

    3. Hukum Penggunaan RBT dalam Islam
    Semua manusia diperbolehkan menggunakan RBT karena pada dasarnya segala sesuatu itu diperbolehkan, sebagaimana kaidah fikih menyatakan:
    الأصل فى الأشياء الاباحة
    Artinya: hukum dasar segala sesuatu adalah boleh.
    Akan tetapi pembolehan ini tidak berarti boleh secara mutlak, ada batasan-batasan yang harus ditaati. Pengguna RBT tidak boleh berlebih-lebihan dalam menggunakannya sehingga menimbulkan kemubadziran, dan Allah swt telah berfirman dalam Qs. al-Isra’: 26-27
    وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا (26) إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (27)
    Artinya: dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang memubadzirkan (harta) itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.
    Adanya ancaman dari Allah swt dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa perbuatan boros atau mubadzir hukumnya adalah haram.

    C. Kesimpulan
    Lagu dan musik, penjualan Ring back Tone (RBT), serta penggunaannya pada dasarnya adalah mubah (boleh). Hal ini sesuai dengan kaidah fikih
    الأصل فى المعاملات الاباحة ما لم يدل دليل على تحريمه
    Artinya: pada dasarnya segala bentuk mu’amalah boleh dilakukan sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkannya.
    Akan tetapi hukum mubah tersebut dapat berubah menjadi haram, makruh, sunnah dan wajib sesuai dengan illat dan maqshadnya serta dalil yang mengirinya. Lagu dan musik hukumnya menjadi haram jika disertai perbuatan haram seperti mabuk-mabukan dan lain sebagainya. Ia juga akan haram hukumnya jika bertujuan untuk menggairahkan nafsu dan syahwat. Demikian pula dengan penjualan RBT, hukumnya haram jika dilakukan dengan cara yang salah dan melanggar ketentuan yang telah ditetapkan oleh islam. Penggunaan RBT juga sama, hukumnya dapat berubah menjadi haram jika dengan menggunakannya menyebabkan melanggar syari’at.
    Wallahu a’lam.

    DAFTAR PUSTAKA
    Al-qur’an Al-karim
    Rahman, Asjmuni A, Qaidah-Qaidah Fiqih (Qawaidul Fiqhiyah), 1976, Jakarta: Bulan Bintang.
    Qardhawi, Yusuf, Halal Haram dalam Islam, 2007, Solo: Era Intermedia.

    Oleh: Mu’arrafah Saifullah

Shidiq, Amanah, Tabligh, Fathonah

    Integrasi Shidiq Amanah Tabligh dan Fathonah

Shidiq, amanah, tabligh dan fathonah adalah empat sifat yang wajib dimiliki oleh Nabi sebagai pembawa risalah Allah. Dengan bekal empat sifat ini, Rasulullah berhasil menyampaikan ajaran islam dan memperoleh kemenangan atas orang-orang musyrik dan kafir quraisy. Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa harus empat sifat ini? bisakah sifat-sifat ini saling dipisahkan?
Shidiq (jujur) adalah sifat dimana seseorang akan selalu berkata dan berprilaku jujur dalam hidupnya. Amanah (terpercaya) adalah sifat dimana seseorang akan selalu bertanggung jawab melaksanakan beban yang diembankan kepadanya, tanpa ada pengurangan maupun penambahan sehingga ia mendapatkan kepercayaan dari orang lain. Tabligh (menyampaiakn) adalah sifat yang mengharuskan seseorang menyampaikan apa yang wajib disampaikan, tidak ada yang disembunyikan. Fathonah (kecerdasan) adalah sifat yang harus dimiliki oleh setiap orang untuk menjadi pemimpin, Karena tidak mungkin seorang pemimpin mampu melaksanakan kepemimpinannya tanpa mengetahui ilmu kepemimpinan.
Keempat sifat tersebut harus dimiliki seorang pemimpin jika menginginkan kesuksesan dalam kepemimpinannya. Jika salah satu dari empat sifat tersebut hilang, maka kepemimpinannya akan mengalami kecacatan. Ibarat sebuah pesawat terbang, pesawat akan disebutkan sebagai pesawat terbang unsur-unsur dasarnya dimiliki, yaitu roda, badan pesawat (ruang penumpang), pesawat, kabin pesawat dan mesin. Jika salah satu dari unsur tersebut tidak ada, tentu saja pesawat tersebut adalah pesawat yang cacat.
Pemimpin yang tidak memiliki sifat shidiq bagaikan pesawat tanpa roda. Ia tampak seperti pesawat yang normal dan baik serta dapat membawa penumpang yang banyak, akan tetapi ia tidak akan dapat terbang karena alat awal yang digunakan untuk terbang tidak ada. Ketika roda tidak berfungsi ditengah perjalanan, pesawat tidak akan dapat mendarat dengan mulus. Begitu pula kepemimpinan tanpa sifat shidiq. Seorang pemimpin dapat menjalankan kepemimpinan menggunakan sifat amanah, tabligh dan fathonah, akan tetapi kepemimpinan tersebut akan berakhir buruk karena tidak ada kejujuran. Akibatnya, orang-orang yang dipimpinnya akan merasa kecewa dan tidak akan menghoramtinya lagi.
Pemimpin yang tak memiliki sifat amanah bagaikan pesawat tanpa ruang penumpang. Ia dapat terbang dan mendarat dengan baik karena masih memiliki roda, kabin pesawat dan mesin, akan tetapi ia tidak mampu membawa penumpang karena tidak ada ruang penumpang. Begitu pula dengan pemimpin, ia mampu menjalankan kepemimpinannya menggunakan sifat amanah, tabligh dan fathonah, akan tetapi tidak akan ada orang yang mau untuk dipimpinnya karena ia tidak dapat dipercaya.
Pemimpin tanpa sifat tabligh bagaikan pesawat tanpa kabin. Ia tampak sempurna, akan tetapi ia tidak akan mampu membawa penumpang ke tempat tujuan karena tidak ada kabin sebagai ruang kendali. Begitu pula dengan pemimpin yang tidak memiliki sifat tabligh. Mungkin ia dapat memimpin, akan tetapi sifatnya yang tidak tabligh (tidak menyampaikan segala sesuatu yang harus disampaikan) menyebabkan orang-orang yang dipimpin merasa dibohongi dan tidak dapat mencapai sesuatu yang seharusnya dicapai sehingga tidak ada kepercayaan lagi pada pemimpin tersebut.
Pemimpin tanpa sifat fathonah bagaikan pesawat tanpa mesin. Pesawat tanpa mesin sudah dipastikan tidak akan dapat terbang meskipun fisik luarnya terlihat baik. Begitu pula pemimpin, pemimpin yang tidak fathonah (cerdas), tidak mengerti ilmu kepemimpinan serta tidak memahami kondisi lingkungan dan masyarakat sekitar, sudah dapat dipastikan tidak akan mampu menjalankan kepemimpinannya.
Oleh karena itulah, pemimpin yang sukses harus shidiq, amanah, tabligh dan fathonah.

by: Mu’arrafah Saifullah